Legenda Cerita Rakyat Sumatera Utara
"Si Baroar"
Si Baroar adalah sebuah legenda yang
mengisahkan tentang asal‐usul orang‐orang Mandailing yang bermarga Nasution di daerah Sumatra Utara,
Indonesia.
Menurut cerita, si Baroar adalah
anak yatim piatu yang berwajah tampan.
Ia memiliki wajah yang sangat mirip
dengan wajah putra Sutan Pulungan, Raja dari Kerajaan Huta Bargot.
Kemiripan wajah kedua anak tersebut
membuat Sutan Pulungan dan permaisurinya merasa sangat terhina, karena
rakyatnya seringkali keliru menyapa kedua anak itu.
Ceritanya di Mandailing, Sumatra
Utara, terdapat sebuah kerajaan kecil yang bernama Huta Bargot.
Kerajaan tersebut terletak di
seberang Sungai Batang Gadis. Rajanya yang bergelar Sutan Pulungan. Ia
mempunyai seorang permaisuri dan putra yang masih bayi.
Di sela‐sela
kesibukannya mengurus kerajaan, Sutan Pulungan sering meluangkan waktu pergi ke
tengah hutan untuk berburu rusa.
Pada suatu hari, Sutan Pulungan
bersama beberapa orang hulubalang dan prajuritnya berburu rusa di sebuah hutan
lebat.
Sutan Pulungan membawa anjing
pemburu kesayangannya yang sangat pintar dan tangkas bernama Sipamutung. Ketika
mereka sampai di tengah hutan, Sipamutung tiba‐tiba berlari
kencang menuju ke suatu tempat.
Tak berapa lama kemudian, ia pun
terdengar menyalak dengan serunya.
Mendengar salakan anjing
kesayangannya tersebut, Sutan Pulungan segera memerintahkan prajuritnya pergi
ke tempat Sipamutung menyalak.
“Prajurit! Cepatlah kalian susul si
Pamutung! Aku yakin dia pasti menemukan rusa!” seru Sutan Pulungan kepada
prajuritnya.
Mendengar perintah itu, beberapa
orang prajurit segera berlari ke tempat Sipamutung menyalak.
Setibanya di tempat itu, mereka
melihat sebuah banyangan perempuan berkelebat lari dari bawah sebatang pohon
beringin besar.
Sementara Sipamutung masih terus menyalak.
Ketika para prajurit tersebut mendekat dan memeriksa ke bawah pohon itu,
tampaklah seorang bayi laki‐laki tampan terbaring di atas sebuah batu besar.
Tak berapa lama kemudian, Sutan
Pulungan pun tiba di tempat itu. “Hai, Prajurit! Mana rusa itu?” tanya Sutan
Pulungan.
“Ampun, Baginda! Ternyata Sipamutang
menyalak bukan karena menemukan rusa, tapi seorang bayi,” jawab seorang
prajurit.
“Apa katamu? Seorang bayi?” tanya
Sutan Pulungan terkejut seraya mendekati bayi tersebut. “Siapa yang meletakkan
bayi di atas batu ini?” Sutan Pulungan kembali bertanya.
“Ampun, Baginda! Hamba juga tidak
tahu. Tapi, saat baru tiba, hamba dan prajurit lainnya melihat seorang
perempuan berkelebat dengan sangat cepat meninggalkan tempat ini,” jawab
seorang prajurit lainnya. Mendengar penjelasan prajurit tersebut, Sutan
Pulungan pun yakin bahwa bayi itu sengaja dibuang oleh orang tuanya.
Akhirnya, ia bersama rombongannya
memutuskan untuk berhenti berburu dan segera membawa pulang bayi malang itu.
Setibanya di Negeri Huta Bargot, Sutan Pulungan menyerahkan bayi itu kepada
seorang janda tua bernama si Saua, yang sejak lama mendambakan seorang anak.
“Terima kasih, Baginda! Hamba akan
merawat bayi ini seperti anak kandung hamba sendiri,” ucap janda tua itu dengan
senang hati.
Setiap kali pergi bekerja ke sawah,
perempuan tua itu meletakkan bayi tersebut di dalam baroar, yakni kandang
anjing. Oleh karena itu, orang‐orang pun menamakan anak itu si Baroar.
Waktu terus berjalan. Si Baroar
telah berusia lima tahun dengan wajah yang sangat tampan.
Namun anehnya, wajah dan perawakan
si Baroar sangat mirip dengan putra Sutan Pulungan, sehingga orang‐
orang di sekitarnya tidak dapat lagi membedakan keduanya.
Orang‐orang sering
keliru menyapa ketika bertemu dengan salah seorang dari kedua anak tersebut.
Jika si Baroar berjalan‐jalan
sendirian, orang‐orang yang bertemu dengannya selalu memberi hormat kepadanya dan
menyapanya seperti menyapa putra Sutan Pulungan.
Tetapi sebaliknya, jika bertemu
dengan putra Sutan Pulungan, mereka memperlakukannya seperti anak orang
kebanyakan.
Saat mengetahui putranya sering
mendapat perlakuan demikian dari orang‐orang di sekitarnya, Sutan Pulungan dan permaisurinya merasa sangat
terhina.
Oleh karena itu, mereka memutuskan
untuk membunuh si Baroar secara rahasia agar tidak diketahui oleh orang banyak.
Pada suatu hari, Sutan Pulungan
mengumpulkan seluruh pembesar kerajaan untuk menyusun rencana pembunuhan
rahasia tersebut.
Dalam sidang tersebut, ia
memerintahkan kepada pembesarnya agar segera menyelenggarakan upacara adat Sopo
Godang, yakni upacara penggantian tiang besar balai sidang yang sudah lapuk.
Sutan Pulungan akan menyelenggarakan upacara adat tersebut secara besar‐besaran
di istana Kerajaan Huta Bargot, karena ia ingin memanfaatkan keramaian itu
untuk menutupi perbuatannya membunuh si Baroar.
“Bagaimana caranya kami membunuh si
Baroar, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
“Sebelum memasukkan tiang pengganti
ke dalam lubang tempat menanamnya, terlebih dahulu kalian harus menjatuhkan si
Baroar ke dalam lubang tersebut, dan menimpanya dengan tiang pengganti,” jelas
Sutan Pulungan.
Sutan Pulungan juga memerintahkan
kepada seorang hulubalang untuk memberi tanda silang pada kening si Baroar
dengan kapur sirih.
“Ampun, Baginda! Kenapa si Baroar
harus diberi tanda silang?” tanya hulubalang lainnya ingin tahu. “Maksudnya
adalah agar kalian bisa membedakan secara pasti yang mana si Baroar dan yang
mana pula putraku, sehingga kalian tidak keliru membunuh si Boroar,” jelas
Sutan Pulungan.
Setelah mendengar penjelasan tersebut,
para pembesar kerajaan segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam
upacara Sopo Godang tersebut. Begitu pula hulubalang yang telah ditunjuk oleh
sang Raja segera mencari si Baroar untuk memberi tanda silang pada keningnya.
Pada hari yang telah ditentukan,
upacara adat itu segara akan dilaksanakan. Seluruh rakyat negeri yang akan
mengikuti upacara adat tersebut telah berkumpul di halaman istana. Dalam
upacara tersebut Sutan Pulungan juga menyelenggarakan berbagai atraksi dan pertunjukan
seni.
Hal ini bertujuan untuk mengalihkan
perhatian para warga yang hadir agar para hulubalang dapat melaksanakan tugas
untuk membunuh si Baroar tanpa sepengetahuan mereka.
Ketika para warga sedang asyik
bersuka ria, para hulubalang pun menyiapkan tiang untuk dimasukkan ke dalam
lubang. Kebetulan saat itu, mereka melihat si Baroar yang sudah diberi tanda di
keningnya sedang berdiri tidak jauh dari mereka. Secara sembunyi‐sembunyi,
mereka segera menangkap dan menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang, kemudian
menimpanya dengan tiang besar.
Tak seorang pun yang mengetahui
perbuatan mereka, karena para warga sedang asyik bersuka ria.
Para hulu balang pun merasa lega dan
gembira, karena berhasil menjalankan tugas dengan lancar.
Demikian pula yang dirasakan oleh
Sutan Pulungan, karena si Baroar yang selalu membuatnya terhina telah mati.
Namun, sejak acara tersebut
dilaksanakan, putra Sutan Pulungan tidak pernah lagi terlihat di istana.
Seluruh keluarga istana menjadi panik dan segera mencari putra Sutan Pulungan.
Mereka telah mencarinya di sekitar
istana, namun mereka tetap tidak menemukannya. Sutan Pulung pun mulai cemas,
jangan‐jangan
para hulubalangnya keliru dalam menjalankan tugas.
Untuk itu, ia pun segera mengutus
seorang hulubalang pergi ke rumah si Saua untuk melihat apakah si Baroar masih
bersamanya.
Ternyata benar. Sesampainya di sana,
utusan melihat si Baroar sedang membelah kayu bakar bersama si Saua. Ia pun
segera kembali ke istana untuk melaporkan hal itu kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Ternyata si Baroar
masih hidup. Ia masih bersama janda tua itu,” lapor utusan itu. Mendengar
laporan itu, Sutan Pulungan langsung naik pitam. Ia sangat marah kepada para
hulubalangnya yang telah keliru menjalankan tugasnya.
“Hai, para Hulubalang! Kalian telah
salah membunuh. Anak yang kalian masukkan ke dalam lubang itu adalah putraku,
bukan si Baroar!” seru Sutan Pulungan dengan wajah memerah.
Rupanya kekeliruan itu bermula
beberapa saat sebelum upacara adat tersebut dilaksanakan. Putra Sutan Pulungan
melihat tanda silang pada kening si Baroar. Karena ingin seperti si Baroar, ia
pun menyuruh seseorang untuk membuat tanda yang serupa di keningnya. Kemudian
ia pergi ke tengah keramaian upacara, dan pada saat itulah para hulubalang
menangkapnya secara sembunyisembunyi, lalu memasukkannya ke dalam lubang.
Sutan Pulungan yang telah kehilangan
putranya segera memerintahkan tiga orang hulubalangnya untuk membunuh si
Baroar. Ketiga hulubalang itu pun segera menuju ke rumah si Baroar dengan
pedang terhunus. Saat tiba di sana, mereka tidak menemukan si Baroar dan si
Saua.
Rupanya, ada orang yang mengetahui
rencana pembunuhan yang akan dilakukan oleh para hulubalang tersebut terhadap
si Baroar.
Orang itu pun memberitahu si Saua
agar segera menyelamatkan si Baroar. Jadi, sebelum para hulubalang tersebut
tiba di rumahnya, si Saua telah membawa lari si Baroar ke daerah persawahan
yang sedang menguning padinya, tak jauh dari tepi Sungai Batang Gadis.
Ketika sampai di daerah persawahan,
si Saua mengajak si Baroar untuk bersembunyi di sebuah gubuk yang atapnya hanya
tinggal rangkanya yang berdiri di tengah sawah.
Sebab, ia yakin bahwa para
hulubalang tersebut pasti akan mengejar dan mendapati mereka sebelum tiba di
tepi sungai.
“Anakku! Kita bersembunyi di sini
saja! Kalau kita terus berlari, mereka pasti akan menangkap kita, karena mereka
bisa berlari dengan cepat!” ujar si Saua seraya merangkul tubuh si Baroar. Para
hulubalang tersebut tiba‐tiba kehilangan jejak.
Saat melihat sebuah gubuk di tengah
sawah, mereka pun mendekatinya. Ketika sampai di dekat gubuk itu, langkah
mereka tiba‐tiba terhenti.
Si Saua dan si Baroar pun semakin
ketakutan, karena mengira para hulubalang tersebut mengetahui keberadaan
mereka. Namun ternyata, para hulubalang tersebut berhenti melangkah, karena melihat
ada seekor burung balam sedang bertengger di puncak kerangka atap gubuk itu
sambil terus berkicau.
“Ayo kawan‐kawan
kita cari mereka di tempat lain! Untuk apa kita cari di si janda tua dan si
Baroar di gubuk itu.
Kalau mereka bersembunyi di situ, tidak
mungkin burung balam itu bertengger di atas sana!” seru hulubalang yang
memimpin pengejaran itu.
Setelah para hulubalang tersebut
cukup jauh dari gubuk itu, si Saua dan si Baroar keluar dari gubuk itu dan
berlari menuju ke arah Sungai Batang Gadis. Namun sialnya, para hulubalang
melihat mereka lagi.
“Hai, itu mereka! Ayo kita kejar!”
seru pemimpin hulubalang.
Si Saua dan si Baroar pun berlari
semakin cepat. Ketika mereka tiba di tepi sungai, ternyata Sungai Batang Gadis
sedang banjir besar, sehingga mereka tidak dapat menyeberang.
Sementara para hulubalang yang
mengejarnya semakin dekat. Mereka tidak dapat berbuat apa‐apa
lagi. Dalam keadaan nyawa terancam, si Saua segera bersujud ke tanah memohon
pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa. “Ya Tuhan! Selamatkanlah nyawa kami!” ucap si Saua.
Ketika mengangkat kepalanya kembali,
si Saua melihat sebatang kayu besar yang amat panjang hanyut melintang di
tengah sungai. Anehnya, kayu besar itu berhenti tepat di hadapan mereka dalam
keadaan melintang sampai ke seberang.
Tanpa berpikir panjang dan merasa
takut sedikitpun, janda tua itu dan si Baroar segera meniti kayu besar itu.
Begitu tiba di seberang sungai, kayu besar itu kembali hanyut terbawa arus
banjir. Para hulubalang yang baru tiba di tepi sungai tak dapat lagi mengejar
mereka. Akhirnya, si Saua dan si Baroar selamat dari kematian.
Konon, beberapa tahun kemudian, di
seberang Sungai Batang Gadis tersebut berdirilah sebuah kerajaan yang bernama
Panyabungan Tonga‐Tonga yang dipimpin oleh si Baroar bersama permaisurinya.
Keturunannya kemudian dikenal sebagai orang‐orang Mandailing yang bermarga Nasution.
* * *
Review :
Menurut masyarakat penutur cerita
ini, cerita Si Baroar termasuk katogeri legenda mengenai asal‐usul
orang‐orang
Mandailing yang bermarga Nasution. Hingga saat ini tempat yang bernama Huto
Bargot dan Panyabungan Tonga‐Tonga tersebut menjadi nama dua desa di Mandailing. Di Desa
Panyabungan Tonga‐Tonga terdapat sebuah makam tua yang dipercaya sebagai makam si
Baroar.
Hikmah yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah bahwa seseorang yang berniat jahat kepada orang yang tak
bersalah, maka dia sendiri yang akan tertimpa musibah. Hal ini terjadi oleh
perilaku Sutan Pulungan yang telah berusaha untuk membunuh si Baroar, akan
tetapi putranya sendiri yang terbunuh.
0 komentar:
Posting Komentar